Minggu, 17 April 2016

7 Perusahaan ELECTRONIC bangkrut di INDONESIA


Nama : Bagus Kurniawan
Nim    : 30814081
Kelas : 4.2 E.S

1. Toshiba
Pelemahan ekonomi dunia ikut mempengaruhi investasi di sektor manufaktur Indonesia. Hal ini dirasakan perusahaan raksasa elektronik asal Jepang, Toshiba. Mereka menegaskan bakal hengkang dari tanah air pada April 2016. Pabrik tersebut juga tak lagi beroperasi di Indonesia.
Penutupan pabrik perusahaan Toshiba terjadi akibat melemahnya daya beli masyarakat. Imbasnya, penjualan produk perusahaan ini turun drastis. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menjelaskan, Toshiba lebih dulu merumahkan ribuan pegawai di Cikarang, Bekasi. Toshiba mempunyai enam pabrik. Namun, satu-persatu mulai angkat kaki dalam kurun 10 tahun terakhir.
“Jadi tidak ada lagi pabrik Toshiba. Yang ada hanya produksi printer Toshiba di Batam, tapi skalanya kecil. Nah yang tutup ini adalah pabrik televisi Toshiba terbesar di Indonesia, selain di Jepang,” kata Iqbal di Jakarta.



2. Panasonic
Dampak melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar serta munurunnya produksi dalam beberapa waktu terakhir, mulai dirasakan pelaku usaha di Pasuruan. Panasonic, contohnya. Kelompok buruh tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) angkat suara soal perusahaan raksasa elektronik di Indonesia yang satu per satu resmi ditutup.
Dampak langsung segara dirasakan para buruh. Mereka kehilanngan mata pencaharian, juga penghasilan. Dua pabriknya resmi ditutup, di Pasuruan (600 orang buruh di PHK) dan di kawasan EJIP Cikarang (sekira 1000 orang buruh di PHK).‎ Jumlah ‎yang di-PHK kurang lebih 2500 orang buruh. Separuhnya dan Panasonic.
Secara bersamaan, tutupnya pabrik tersebut dibarengi dengan investasi dari Tiongkok, yang disebut-sebut merupakan proyek mercusuar. Investasi Tiongkok mencakup SDm. Mereka membawa buruh unskill, seperti operator, supir forklift, juru masak dll.



3 Sharp
Sharp Corp mengalami kerugian akibat jatuhnya harga flat panel TV dan menguatnya yen. Operasi tahunan pertama jebol. Akibat kinerja yang buruk, Sharp memotong perkiraan dividen tahunannya menjadi 21 yen per lembar dan merencanakan PHK 1.500 pegawai tidak tetap, serta mengurangi biaya hingga US$ 2,20 miliar. Pembuat LCD TV merek Aquos itu merupakan perusahaan teknologi terbaru yang menjadi korban resesi global.
Selain krisis global, persaingan juga menyebabkan Sharp terpuruk. Sharp sebagai pembuat LCD TV terbesar ketiga di dunia mendapat tantangan dari Samsung Electronics Co Ltd dan LG Electronics Inc dari Korea yang beruntung karena mata uangnya tidak terlalu bergolak.Sharp memotong penjualan TV LCD untuk tahun bisnis sekarang 9,1% menjadi 10 juta unit.
Presiden Direktur Sharp Electronics Indonesia, Fumihiro Irie, mengatakan hingga kini belum ada PHK karyawan Sharp di Indonesia. Lain soal jika krisis berlanjut. Untuk menghindari tekanan krisis, Sharp melakukan efisiensi segala proses produksi. Biaya yang tidak berdmapak pada keuntungan, akan dihilangkan.


4. Sony
Kepala Eksekutif Sony Corp, Kazuo Hirai, mempertimbangkan alternatif lain tahun depan setelah lini bisnis ponsel pintar (smartphone) terus menurun. Jika tahun depan masih merugi, tidak menutup kemungkinan Sony mengembangkan bisnis lain.
Setelah mengalami kerugian dalam beberapa tahun terakhir, Hirai mampu merustrukturisasi bisnis. Perbaikan bisnis mulai terasa dengan efisiensi biaya dan penghentian lini bisnis yang merugi seperti produksi PC. Selain itu, Sony memperkuat penjualan sensor gambar dan videogame. Sayangnya, lini bisnis ponsel pintar terus menurun.
Meski sedang dilanda kesulitan bisnis, pada ajang CES 2015 yang berlangsung di Las Vegas, AS, awal bulan ini, Sony tetap memperkenalkan sejumlah gadget baru, termasuk TV super tipis dan Walkman seharga belasan juta rupiah. Di ranah mobile phone Sony menghadapi persaingan keras. Segmen bawah digerogoti perangkat-perangkat murah besutan vendor Asia, sementara segmen atas dikuasai Apple dan Samsung yang sulit dikejar.






5. NOKIA
Microsoft terus melakukan efisiensi di divisi mobile Nokia yang dibelinya pada tahun 2013 senilai USD 7 miliar. Mereka mengumumkan penutupan salah satu pabrik ponsel Nokia yang berada di Finlandia dan telah mengumumkan PHK pada 7.800 karyawan, kebanyakan dari divisi ponsel. Akuisisi divisi ponsel Nokia tidak menuai hasil seperti yang diharapkan karena Windows Phone masih keteteran menghadapi Android dan iPhone.
Stephen Elop yang adalah mantan CEO Nokia, juga sudah mengundurkan diri dari jabatan Executive Vice President of Microsoft Devices & Services. Head of Phone Division Jo Harlow, juga ikut hengkang dari Microsoft. CEO Microsoft, Satya Nadella, menegaskan akan tetap fokus membesarkan bisnis ponsel. “Dalam jangka pendek, kami akan menjalankan portofolio ponsel yang lebih fokus dan efektif,” kata pria berdarah India ini. Microsoft di bawah kepemimpinan Nadella ditengarai lebih mengutamakan bisnis software serta cloud.


6. General Motor (GM) Indonesia
Pabrik milik General Motor (GM) Indonesia yang memproduksi mobil Chevrolet Spin di Bekasi akan menghentikan operasinya dan resmi ditutup pada Juni 2015. Penyebabnya, sejak berdiri 2013, perusahaan itu mengalami kerugian dan tidak mampu bersaing dengan produk sejenis.
Sementara itu, Direktur Keuangan GMI Manufacturing, Pranav Bhatt, mengatakan ditutupnya pabrik GMI di Indonesia semata-mata karena alasan finansial, di mana penjualan Chevrolet Spin tidak begitu menguntungkan. Biaya produksi tinggi, sementara volumenya sedikit.
Menurut dia, GMI akan tetap berada di Indonesia, namun tidak lagi menjual Chevrolet Spin, melainkan akan fokus pada jenis mobil SUV dan pick up.






7. Sanyo
Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita petik sebagai pelajaran.

Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini, kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini, perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang mengangungkan harmoni dan konsensus.

Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu hanya bisa melongo.

Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen. Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta budaya sungkan pada atasan.

Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia diatas 50 tahun.

Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

Disini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga manajer-manajer senior dan tua itu.

Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.

Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal pada tiga elemen diatas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada dalam bayang-bayang kematian.








rf.www.efekgila.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar